Berita

Pertanyaan

Terjadi kasus di mana perusahaan tidak memberikan “hak ahli waris” dari pekerja sesuai Pasal 166 UU 13/2003. Padahal pekerja wafat karena sakit dan masih berstatus sebagai karyawan perusahaan. Setelah saya pelajari ketentuan-ketentuan UU 2/2004, tidak saya temukan definisi subjek hukum ahli waris di dalamnya. Jadi, apakah ahli waris memiliki legitimatie in yudicio mengajukan gugatan ke PHI (diawali menempuh jalur bipartit dan tripartit), atau harus mengajukan upaya hukum melalui gugatan perdata PMH/Wanprestasi di peradilan umum?

Jawaban :

Hak Gugat Ahli Waris Pekerja yang Wafat

Pertama-tama, kami turut berduka atas apa yang Anda alami sekarang.

Dalam hal seorang pekerja meninggal dunia, maka hak-hak yang sepatutnya diterima oleh pekerja harus diberikan oleh pengusaha kepada ahli waris pekerja. Hal ini diatur dalam Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi:

Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pasal tersebut bertujuan untuk melindungi hak para pekerja yang meninggal dunia agar tetap dapat diterima melalui ahli waris yang berhak.

Sebelum masuk ke dalam inti jawaban lebih lanjut, perlu kami sampaikan siapa saja yang dapat dikatakan sebagai ahli waris. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terdapat empat golongan ahli waris, yaitu:

  1. istri/suami, anak, dan garis keturunan ke bawah;
  2. orang tua dan saudara kandung;
  3. garis keturunan keatas (kakek dan nenek);
  4. paman dan tante.

 

Jika Anda termasuk sebagai salah satu dalam golongan ahli waris di atas, maka Anda dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial (“PHI”), berdasarkan ketentuan Pasal 834 KUH Perdata:

 

Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya.

Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apa pun ada dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturan-peraturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik. Beranjak dari Pasal di atas maka Ahli Waris berhak dan dapat mengajukan Gugatan melawan Pengusaha untuk memperoleh Hak Normatif melalui Pengadilan Hubungan Industrial apabila pihak perusahaan tidak memberikan Hak Normatif Pewaris.

 

Pengadilan yang Berwenang Mengadili

Pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara perselisihan hubungan industrial (in casu perselisihan hak) adalah PHI. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”), yang selengkapnya berbunyi:

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap Perselisihan Hubungan Industrial.

Namun, sebelum mengajukan gugatan melalui PHI, langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah melakukan perundingan bipartit dengan perusahan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPHI yang berbunyi sebagai berikut:

Perselisihan Hubungan Industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Yang dimaksud perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.

Dalam hal perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan atau perdamaian, maka ahli waris maupun pengusaha dapat melakukan upaya perundingan tripartit melalui suku dinas ketenagakerjaan setempat. Pasal 4 ayat (1) UU PPHI berbunyi:

 

Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

 

Proses penyelesaian tripartit ini (yang juga dapat disebut sebagai mediasi) melibatkan mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di PHI pada pengadilan negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan perjanjian bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun apabila tidak tercapai kesepakatan, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XIII/2015 kemudian menambahkan catatan bahwa frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi.”

Apabila anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke PHI pada pengadilan negeri setempat.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.

 

Link :

1z0-434  
2V0-620  
300-135  
70-270  
642-997  
400-051  
350-080  
C9560-655  
70-410  
2V0-621D  
352-001  
350-080  
C2150-606  
1Z0-434  
300-206  
300-135  
2V0-620  
300-070  
300-135  
210-260  
1Z0-803  
210-260  
220-902  
C2150-606  
220-801  
200-310  
220-901  
C9560-655  
1Z0-434  
642-732  
642-999  
700-501  
70-177  
70-178  
70-243  
70-246  
70-270  
70-346  
70-347  
70-410  
70-411  
70-412  
70-413  
70-417  
70-461  
70-462  
70-463  
70-480  
70-483  
70-486  
70-487  
70-488  
70-532  
70-533